Selasa, 08 Juni 2010

Manusia dan Politik

Arti politik bisa sedemikian beragam, tergantung pada arah yang ingin dijelaskan. Dalam arti umum, politik bisa diartikan sebagai siasah, strategi, atau seni bagaimana melaksanakan atau mencapai sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian, berpolitik artinya melakukan serangkaian akivitas mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan memonitor serta mengontrol aktivitas tersebut dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai. Sedang dalam arti khusus, politik adalah terkait dengan kekuasaan. Berpolitik berarti melakukan serangkaian perencanaan dan aktivitas guna memperoleh kekuasaan yang diinginkan. Wujud dari serangkaian perencanaan itu misalnya menyusun strategi-strategi yang digunakan sebagai pedoman dan arahan guna mencapai kekuasaan atau jabatan yang diinginkan.
Kalau jabatan yang diinginkan itu ialah menjadi kepala desa maka proses untuk menjadi kepala desa itu tidaklah ditunggu tetapi harus direbut. Dengan kata lain, diusahakan secara aktif, seperti mendaftarkan diri sebagai calon, berkampanye, dan seterusnya. Dengan demikian, manusia sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari urusan politik. Tetapi bagaimana menjelaskan semua itu? Pada tulisan ini, politik dan berpolitik akan ditelusuri dari bagaimana masyarakat manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Lewat penelusuran demikian berikutnya akan ditunjukkan pandangan dan pilihan tindakan yang dilakukan.


Kebutuhan dasar Manusia
Untuk dapat hidup, manusia harus dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Yang termasuk kebutuhan dasar itu ialah (1) kebutuhan biologis, (2) kebutuhan social, dan (3) kebutuhan adab yakni kebutuhan terhadap nilai-nilai yang luhur yang bisa mendasari pemenuhan kebutuhan biologis dan sosialnya.

Kebutuhan Biologis
Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan primer. Kebutuhan biologis ini menyangkut akan kebutuhan untuk dapat terbebas dari kelaparan, kehausan, dan kesengsaraan jasmani. Oleh karena itu, manusia perlu makan, minum, istirahat, dsb. Bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan seperti ini, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Anak-anak memperoleh makanan dan minuman tidak dari bekerja sendiri tetapi dari hasil kerja orangtuanya. Orangtua tidak berkeberatan untuk memberi makanan anak-anaknya, disamping karena naluri juga karena aturan main atau kewajiban moralnya memang demikian. Bagaimana orangtua memperoleh bahan makanan? Bisa dilakukan dengan cara-cara yang terhormat atau tidak terhormat.
Cara-cara yang terhormat misalnya dengan bekerja secara halal dan terhormat pula. Kerja yang halal tetapi tidak terhormat misalnya mengemis atau meminta-minta. Kerja yang terhormat menurut kriteria sosial tetapi tidak halal misalnya dengan melakukan korupsi.
Untuk memenuhi kebutuhan makan bagi petani misalnya, dia harus mengolah sawah, menanam, memanen, dsb. Proses itu semua, memerlukan bantuan orang lain. Begitu pula kalau dia harus membeli pakaian dan barang-barang lain. Sang petani tadi perlu menjual sebagian hasil padinya untuk kemudian ditukarkan atau dibelikan dengan barang. Tukar menukar baru akan terjadi kalau antar mereka ada kesepakatan. Kesepakatan itu berupa sejumlah aturan-aturan yang disepakati bersama. Kalau hubungan atau interaksi sosial antar orang tidak dilandasi oleh aturan-aturan, maka yang muncul adalah kekacauan. Mungkin di antara mereka akan saling menerkam seperti serigala. Siapa yang kuat dia yang menang. Dalam bahasa politik perilaku demikian dikenal dengan ungkapan Homo homini lupus. Artinya, manusia adalah serigala bagi yang lain.

Kebutuhan Sosial
Untuk dapat terpenuhi kebutuhan dasar seperti pakan, sandang, dan papan, masyarakat manusia memerlukan interaksi dalam arti kerjasama dengan manusia lain. Kerjasama baru bisa terwujud kalau ada aturan-aturan yang disepakati oleh mereka sendiri. Aturan-aturan seperti pembagian hasil di antara mereka yang melakukan kerjasama, dasarnya bisa beragam. Bisa karena besar-kecilnya tanggungjawab, bisa karena sedikit banyaknya modal yang disetorkan. Bisa karena tingkat kepandaian yang dimiliki.
Dari adanya sejumlah orang yang mengikatkan diri dalam bentuk kerjasama inilah kemudian melahirkan struktur atau organisasi yang menangani. Ada pemodal dan ada karyawan. Ada pemimpin dan ada anggota. Begitu seterusnya.
Terbentuknya sejumlah orang yang mengikatkan diri dalam bentuk kerjasama, maka jika pengikatan diri itu bergerak di bidang ekonomi, akan lahir perkumpulan usaha, seperti CV, PT, dan asosiasi ekonomi lainnya. Kalau pengikatan diri itu karena adanya kesamaan mengenai ideologi atau ajaran keagamaan, maka muncul jamaah atau jamiyah keagamaan, seperti perkumpulan tarekat, jamaah yasinan, bahkan ormas sosial keagamaan seperti NU. Dengan demikian, orang-orang yang merasa atau mengaku sebagai warga/ anggota NU, maka di dalam diri mereka masing-masing merasa ada kesamaan pilihan ideologi seperti aswaja (ahlus sunnah wal jamaah). Agar masing-masing orang mantab terhadap pilihan ideologi seperti itu, maka di dalam internal ormas keagamaan itu disosialisasikan “kebenaran ajaran aswaja” tersebut. Dari sini lalu lahir berbagai lembaga yang bisa menupang pilar-pilar aswaja yang kukuh, seperti lembaga pendidikan pesantren, Maarif, kegiatan pengajian, dsb.

Dari karena terjadinya sosialisasi secara berkelanjutan, maka tumbuh ikatan-ikatan emosional di antara mereka, yaitu timbulnya perasaan sesama warga NU atau orang nahdliyyin. Di luar itu, ada kelompok-kelompok lain yang melakukan aktivitas keagamaan tetapi versinya berbeda, seperti kelompok Syiah dan Muhammadiyah. Adanya kenyataan demikian, maka masing-masing dari kelompok itu menyebut warganya sebagai kami (nahnu, minna) yang dibedakan dengan mereka (minhum, ha ula). Adanya kesadaran atas perbedaan itu, bisa melahirkan dua kemungkinan. Kedua kemungkinan itu tidak berjalan secara linier dalam arti hitam putih secara menetap tetapi bisa saling tumpang tindih.
Misalnya ketika di antara ketiga golongan itu berbicara soal “kebenaran ajaran agama Islam”, bisa jadi antara orang NU, orang Muhamadiyah, dan orang Syiah, bisa mengklaim sendiri-sendiri sebagai yang paling benar ajaran agama yang dijalankannya. Adanya klaim-klaim kebenaran seperti itu, bisa jadi memunculkan ketegangan-ketegangan bahkan konflik. Jadi konflik bisa lahir karena saling klaim dan disertai dengan semangat fanatisme sempit.
Tetapi ketika ada musuh atau lawan yang dianggap lebih besar dari sekedar perbedaan faham keislaman, seperti perebutan jabatan gubernur di mana calon-calonnya terdiri dari orang Islam dan non-Islam, maka ketiga kelompok keislaman tadi – untuk sementara bersatu guna mendukung calon yang beragama Islam (tanpa menghiraukan perbedaan ajaran) guna memenangkan perebutan dari calon gubernur yang kebetulan tidak beragama Islam. Kondisi psikologis untuk berpihak demikian, bisa merupakan ciri dari manusia itu sendiri. Ini artinya, manusia tidak bisa dengan serta merta melepaskan ikatan-ikatan primordialismenya.
Sebaliknya kalau calon-calon gubernur yang berkompetisi itu justru berasal dari faham keislaman yang berbeda, misalnya dari NU, dari Muhammadiyah, dan dari Syiah. Jika itu yang terjadi, maka bisa diramalkan hubungan antar ketiga kelompok itu akan semakin renggang dan mengeras. Fanatisme golongan atas dasar faham keagamaan akan ditarik masuk ke wilayah-wilayah kekuasaan atau politik. Tentu hal demikian akan terjadi kalau umumnya pengikut ajaran keagamaan yang berada dalam organisasi sosial keagamaan, memandang jabatan gubernur atau yang lebih atas, terkait atau berdampak pada kebijakan-kebijakan yang bisa merugikan jamiyahnya. Lain persoalannya kalau umumnya warga sudah berfikir sekuleristik.
Fenomena seperti itu melahirkan kesadaran pada umumnya orang akan artinya kekuatan politik. Dari sini pulalah lahir seperti partai-partai politik, baik itu yang bernama PKB, PAN, PPP, dst.
Apa lalu arti politik dan makna berpolitik di sini? Pertama, politik adalah suatu ranah yang berbicara dan berkonsentrasi kepada pengaturan kebijakan dan implementasinya sekaligus siapa yang dianggap paling berhak mengatur dan menjadi pemimpinnya. Dalam hal seperti ini, ada kecurigaan secara kolektif yaitu bahwa manusia tidak bisa berbuat adil tetapi cenderung pilih-kasih. Seorang Gubernur atau presiden yang berasal dari NU, dibayangkan bahkan diyakini akan lebih mengutamakan warga NU untuk memperoleh kesempatan lebih dahulu daripada yang bukan orang NU. Begitu mungkin pikiran orang Muhammadiyah dan orang-orang Syiah maupun orang-orang yang tidak bersimpati. Demikian pula kalau yang menjadi gubernur atau presiden adalah orang Muhammadiyah.

Berpolitik
Bermunculannya partai-partai politik, dalam satu segi bermakna kepada tumbuhnya kesadaan secara luas akan arti pentingnya pemerintahan yang bersih, kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, dan perlunya mengontrol pemerintahan. Tetapi pada segi yang lain, lahirnya partai-partai politik itu bisa juga karena keinginan-keinginan dan semangat untuk merebut kekuasaan. Penguasa harus muncul dari kelompoknya. Inilah yang harus diwaspadai.
Yang ideal semestinya esensi dan pemposisian partai politik adalah pengelompokan sosial yang arah tujuan didirikannya itu untuk mencapai “mabadi khoiru ummah” (membangun masyarakat yang baik). Caranya ialah dengan ikut menentukan dan sekaligus mengontrol arah kebijakan pemerintah beserta implementasinya. Masalahnya, kebijakan yang baik hanya mungkin lahir dari penentu-penentu kebijakan (penguasa: eksekutif dan legislatif) yang baik (moral, pengetahuan, dan komitmennya). Kebijakan yang baik, dalam praktik atau implementasinya belum tentu baik. Karena itu berpolitik artinya juga mengontrol hal-hal seperti itu. Apalagi kalau orang-orang (pejabat, penguasa) yang membuat kebijakan (aturan, perda-perda dsb) adalah orang-orang yang brengsek (tidak jujur, korup, dan bermental rakus). Orang-orang seperti itu cenderung menelorkan peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat, dan diimplementasikan secara tidak baik (seperti penyalahgunaan peraturan untuk kepentingan diri). Jika demikian itu yang terjadi, maka rakyat akan tetap menderita. Rakyat akan menjadi objek makanan bagi para preman yang berbaju penguasa.
Spirit yang menginspirasi sejumlah tokoh NU mendirikan partai politik seperti PKB misalnya, pada awal mulanya adalah karena idealisasi atau gagasan seperti itu Begitu pula mungkin lahirnya partai PPP, PAN, PBB, dsb. Tetapi inilah manusia. Ketika mereka belum mendapat apa-apa, sepertinya mereka adalah orang-orang yang mampu menjalankan amanat penderitaan rakyat. Namun setelah di depan matanya terlihat ada segepok uang, ternyata banyak di antara mereka yang tidak siap mental. Banyak di antara mereka yang tidak punya potongan menjadi orang jujur, orang yang amanah, dan orang-orang yang bermental pemimpin.
Gejala penyalahgunaan jabatan yaitu memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dengan cara mendistorsi peraturan dan membuat peraturan yang tidak adil, pada awal mulanya adalah kesalahan menalar tentang arti kehormatan. Dalam konstruksi sosial dibedakan antara penguasa (elite) dan rakyat (wong cilik). Penguasa atau elite itu dalam kebudayaan Jawa dikategorikan sebagai “wis dadi wong”. Ukuran dadi wong itu seringkali diidentifikasi sebagai bahkan harus kaya sehingga bisa hidup dengan kemewahan (hedonistik). Sementara kebudayan global yang dilahirkan oleh masyarakat negara maju seperti Eropa, telah memproklamirkan keunggulan ilmu dan hasil-hasil teknologi canggih. Berkat dari atau sebagai upaya untuk menjual produksi teknologi canggih itulah, mereka mendisain suatu gaya hidup mewah sebagaimana iklan-iklan yang ditawarkan. Seperti tutup ketemu tumbunya. Masyarakat maju menjual hasil produksi teknologi yang dikategorikan mewah para elite negara berkembang gila untuk menjunjung martabat dirinya dengan cara mengkonsumsi barang-barang mewah. Ketika peluang untuk memperoleh itu di depan mata, maka berbagai cara ditempuh untuk di-halal-kan.
Lantas karena mereka terjebak oleh paradigma itu, maka mereka berpikir, “Jika diam artinya emas (ingat dulu ada istilah 4 D: datang, duduk, diam, dan duit), maka kalau kemudian berkongkalikong bisa menjadi emas berlimpah. Mulai dari uang rapat, uang jajan, dan uang LPJ, semuanya dapat. Naudlubillah. Banyak di antara mereka yang tidak merasa malu kepada rakyat yang diwakilinya, dan sepertinya tidak berasa berdosa terhadap Tuhannya. Atau jangan-jangan, mereka berkeyakinan “semua dosa asal akhirnya meminta ampun kepada Allah toh bisa diampuni selain musrik”. Apalagi kalau memintanya ampun itu di Mekah. Lantas naik haji dan umroh dipakai sebagai pepaesnya. Masyaallah.
Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang mentalitasnya seperti itu? Tidak ada, kecuali menyebalkan belaka.
Karena kita terlalu sebal dengan perilaku politik para politisi yang seperti itu, maka kita dengan mudah mengatakan “politik itu kotor”. Dan anehnya, para politisi itu juga beradagium (berdalil) seperti itu. Naudlubillah.
Nabi Muhammad, di samping sebagai rasulullah, beliau juga seorang politikus ulung. Berpolitik bagi nabi bermakna mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beriman kepada Allah. Kekuasaan untuk mabadi khoiru ummah.

Penutup
Jadi berpolitik dalam arti yang benar adalah positif. Karena berpolitik pada dasarnya ialah mengatur dan menata kehidupan dalam skala state (negara), governance (pemerintahan), dan social (masyarakat) guna memperbaiki kehidupan bersama. Sayang, terlalu sedikit orang-orang yang istiqomah terhadap godaan duniawi. Semoga kita dipilih oleh Allah sebagai golongan orang-orang yang istiqomah. Yakni orang-orang yang dimudahkan oleh Allah untuk dapat memenuhi kebutuhan biologis, dan kebutuhan sosial dengan tetap mendasarkan dan berdasarkan kepada adab.